Namun saat saya tiba di Brisbane dan mengalami sendiri interaksi antarpenduduk di sana, kekhawatiran saya tidak terbukti. Semua teman saya tidak ada yang bersikap aneh-aneh. Mereka bahkan antusias bertanya, “Why are you covering your head?” atau “Don’t you feel hot during summer?”
Kalau ada yang bertanya mengenai alasan saya memakai jilbab, paling saya hanya menjawab, “Because I want to and I feel comfortable with it.” Simple saja tanpa perlu penjelasan panjang lebar mengenai agama (karena terus terang saya juga tidak terlalu ahli dalam soal agama Islam). Sementara soal kepanasan atau tidak saat musim panas, yah…panas sih! Makanya saat summer saya berusaha untuk tidak pakai baju berlapis-lapis. Cukup pakai kaos lengan panjang yang bahannya adem. Dan yang tidak kalah penting, menghindari terik matahari dan berlindung di ruangan-ruangan ber-AC.
Di The University of Queensland (UQ), ada banyak mahasiswi berjilbab dari Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Bangladesh, dan lain-lain. Gaya berjilbab mereka pun macam-macam. Ada yang simple seperti saya, ada juga yang memakai cadar. Dan sepengetahuan saya, tidak pernah ada konflik soal agama antarmahasiswa. Bahkan organisasi mahasiswa muslim di kampus sering mengadakan event yang terbuka untuk semua mahasiswa di kampus, seperti bagi-bagi makanan gratis.
Bulan puasa tahun 2010 lalu, organisasi mahasiswa muslim tersebut mengadakan acara buka puasa dan Shalat Maghrib di salah satu jalan utama di dalam kampus. Hasilnya, kami jadi pusat perhatian mahasiswa-mahasiswa yang lain. Banyak dari mereka yang bertanya apa yang kami lakukan. Tidak sedikit pula yang ikut mencicipi hidangan buka puasa kami.
Shalat Ied biasanya kami lakukan di lapangan dekat kampus yang biasanya populer untuk main sepakbola dan berada di jalur utama masuk kampus (bila tidak hujan). Busana Lebaran masing-masing negara juga bermacam-macam. Jadi sekali lagi, kamipun jadi pusat perhatian para mahasiswa dan warga sekitar.
Sayang sekali di tempat umum, fasilitas seperti ini jarang sekali ditemui. Kalau mau shalat, ya di tempat seadanya. Saya hanya pernah mendapati mushola (benar-benar khusus untuk shalat) di Movie World dan Sea World, Gold Coast.
Selama 1.5 tahun tinggal di Brisbane, saya hanya dua kali mengalami kejadian tidak mengenakkan. Pertama, seorang ibu dan anak masuk mushola di Movie World tanpa mencopot sepatu mereka. Saat anaknya melihat saya mencopot sepatu sebelum masuk, iapun bertanya pada si ibu, “Mom, do we need to take our shoes off?” Eh, si ibu malah ngomel, “This is my country. I’ll do whatever I like!” Saya juga pernah diteriaki “F*cking Moslem” oleh seorang pengemudi mabuk. Saat itu saya lumayan shock, tapi lalu berusaha untuk tidak memikirkannya. Lebih banyak orang yang appreciate keberadaan kaum Muslim ketimbang yang suka melecehkan seperti contoh di atas.
Ada pendapat bahwa kalangan akademis lebih toleran menerima keberagaman budaya dan agama dibandingkan masyarakat Australia pada umumnya. Kalau dilihat dari contoh kasus di atas, mungkin juga. Tapi pendapat ini juga tidak selalu benar. Saya punya kenalan baik di lingkungan tempat tinggal saya yang bukan berasal dari kalangan akademis. Nenek yang tinggal di bawah unit saya itu selalu rajin menyapa dan menolong saya di saat ada kesulitan. Tetangga ideal, lah.
Sekedar informasi, jika ada yang mengalami pelecehan dan ingin mengajukan complain (baik di Brisbane maupun kota lain di Australia), mungkin dua website ini bisa berguna. Untuk Queensland, silakan lihatwebsite Anti-Discrimination Commission Queensland (ADCQ) di http://www.adcq.qld.gov.au/main/complaints_inclvideo.html. Sementara untuk kawasan Australia, bisa lihat website Australian Human Rights Commission di http://www.humanrights.gov.au/complaints_information/lodging.html.
(Taken from http://nengkoala.wordpress.com/2012/04/08/berjilbab-di-benua-kangguru/)
No comments:
Post a Comment